NIKAH

A.  MEMBUJANG
Yang pasti ISLAM melarang melepas kendali gharizah (instink) tanpa batas dan tanpa ikatan, maka ISLAM mengharamkan zina dan seluruh aktifitas yang tergolong mendekati zina.
AKAN TETAPI, Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini, oleh sebab itu maka setiap muslim/muslimah disunnatkan menikah dan melarang hidup membujang. Dalam Islam tidak ada anjuran hidup membujang karena alasan demi berbakti kepada Allah swt., sementara ia mampu menikah.
Kalaupun ada sebagian ajaran agama yang membolehkan atau bahkan melarang tokoh agamanya untuk menikah, maka ajaran ini sangat bertentangan dengan Islam yang menfasilitasi kecendrungan dasar (fitroh) manusia.
Nabi saw. mengingatkan:
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah swt. memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah swt. dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah swt. pun akan meluruskan kepadamu.'"
Dalam Al Qur’an ditegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. QS al-Maidah: 87
Dikatakan oleh Imam Mujahid: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.
B.   MEMINANG (TUNANGAN)
Meminang adalah menyatakan, mengungkapkan permintaan perjodohan dari pihak seorang laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya atau pinangan tersebut disampaikan oleh perantara yang terpercaya. Meminang dengan cara begini diperbolehkan dalam syariat Islam, sedangkan bila si perempuan masih dalam masa iddah bain sebaiknya dengan cara sindiran.
Tidak boleh meminanng perempuan yang masih dalam masa iddah raj’i, atau telah dipinang (menjadi tunangan) seseorang.
Dinyatakan oleh Nabi saw.:
أَلْمُؤْمِنُ أَخُوالْمُؤمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَخْطُبَ عَلى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذِرَ
Artinya : Seorang mukmin merupakan saudara dari mukmin lainnya, maka tidak halal (tidak boleh) bagi seorang mukmin meminang seorang perempuan yang telah menjadi tunangan saudaranya, sampai nyata telah ditinggalkannya (diputus). HR. Ahmad dan Muslim.
Seorang mukmin apabila berkehendak untuk menikah dan berkeinginan untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu yang tidak diinginkan.
Ini, adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu Hurairah mengatakan:
"Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu." (Riwayat Muslim)
C.   HUKUM NIKAH
Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perka­winan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak tur­unnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan  terciptanya suatu masyarakat yang baik dan saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir bathin di dunia maupun di akhirat.
Dilihat dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam  ada lima hukum, yaitu :
a.   Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menye­babkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
b.   Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk meni­kah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun bathin.
c.   Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d.   Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah. Allah swt. berfirman :
e.   Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
D.   TUJUAN NIKAH
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.     Untuk memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
Artinya :   “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia mencip­takan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia­ntaramu perasaan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum : 21
Ayat di atas memberikan pedoman bahwa dilaksanakannya pernikahan itu, guna mewujudkan adanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup khususnya dalam kehidupan keluarga, dan untuk itulah maka Allah swt. menganugerahkan perasaan kasih dan sayang diantara keduanya.
Dalam Komplikasi Hukum Islam Buku I Bab II pasal 3, disebutkan bahwa : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah, yang mengandung arti suatu keluarga yang diliputi perasaan tenteram, aman dengan jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarganya, atau dengan kata lain suatu keluarga yang bahagia sejahtera lahir dan bathin.
b.     Untuk membentengi diri dari perbuatan tercela.
Setiap manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain. Nabi saw. bersabda :
فانه اغضُ للبصر واحصن للفرْج   رواه البخارى و مسلم
Artinya :   “Sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan (kemaluan)”.  HR. Bukhari Muslim.
Perbuatan zina merupakan sumber malapetaka bagi manusia, disamp­ing akibatnya yang sangat tercela dan berbahaya, biasanya bila seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina maka akan terjerumus pula dalam perjudian dan minuman keras, sebab ketiga jenis dosa ini sebenarnya merupakan satu paket.
c.     Untuk menjaga dan memperoleh keturunan yang baik dan sah.
Setelah terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah swt. berikut :
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
Artinya :   “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada  istri-istri  kami  dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. QS. Al Furqon : 74
d.     Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan.
Rasulullah saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun (tidak tidur) setiap hari guna konsen­trasi beribadah serta bertekad tidak akan menikah. Beliau bersabda :
لَكِنِّىْ اَنَا اُصَلِّىْ وَاَنَامُ وَاَتَـزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّـتِىْ فَلَيْسَ مِنَّا  متفق عليه
Artinya :   “Akan tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka serta aku menikahi perempuan, maka barang siapa tidak suka akan sunnahku (caraku), maka bukanlah ia golonganku”. HR. Muttafaq Alaih
Dengan menikah maka berarti telah melaksanakan setengah dari agama, Nabi saw. bersabda :
اذا تز وجَ العبد فقداستكمَل نصفَ الدينِ فليتق الله فى النصف الباقى  
Artinya :   “Bila telah menikah seorang hamba Allah, maka sesung­guhnya ia menyem-purnakan separuh dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam (untuk menyempurnakan) separuh yang tersisa”.
E.   RUKUN NIKAH DAN SYARAT-SYARATNYA
Rukun nikah yaitu unsur-unsur yang harus ada pada saat dilang­sungkannya suatu pernikahan, dan unsur-unsur tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Apabila salah satu rukun tidak terpenuhi atau tidak memenuhi persyaratan maka pernikahan menjadi tidak sah dan harus diulang.
Rukun Nikah ada 5, terdiri dari :
1.     Calon Suami, syarat seorang laki-laki yang sah / boleh menjadi calon suami seorang muslimah adalah :
a.   Beragama Islam         
b.   Atas kemauan sendiri          
c.   Bukan mahram calon istri
d.   Tiddak sedang ihram (haji/umrah)
2.     Calon Istri, syarat seorang perempuan yang sah / boleh menjadi calon istri seorang lski-laki muslim adalah :
a.   Beragama Islam         
b.   Bukan muhrim calon suami
c.   Tidak sedang bersuami
d.   Tidak dalam masa iddah
e.   Tidak sedang ihram (haji/umrah)
3.     Wali (dari calon istri), boleh atau sah menjadi wali dari mempelai wanita apabila memenuhi syarat berikut :
a.   Beragama Islam         
b.   Dewasa (baligh)
c.   Berakal sehat (aqil)             
d.   Laki-laki
e.   Merdeka (bukan budak)                    
f.    Adil (tidak fasiq)        
g.   Tidak sedang ihram (haji/ umrah )
4.     Dua orang saksi, syarat sah menjadi saksi dalam suatu pernikahan sama dengan persyaratan wali, kecuali g.
5.     Sighat aqad (Ijab Qabul), Ijab yaitu perkataan dari wali mempelai perempuan, seperti :
a.   Saya nikahkan engkau dengan anak saya....  dengan maskawin ....
b.   Qabul  yaitu jawaban dari mempelai laki-laki, seperti : Saya  terima menikahi..... dengan maskawin.........
c.   Ucapan ijab qabul harus jelas dan beruntun tidak berselang  waktunya (diselingi perka taan lain sebelum qabul)
Penjelasan :  
a.   Tidak sah suatu pernikahan tanpa izin dari wali
b.   Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali dan saksi
c.   Dalil Al Qur’an tentang masalah wali :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi Wali; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim
d.   Urut-urutan yang berhak menjadi wali dalam suatu pernikahan adalah :
1. Ayah kandung, kakek terus ke atas 
2. Saudara laki-laki sekandung 
3. Saudara laki-laki seayah      
4. Anaklaki-laki dari no. 2 dan terus ke bawah       
5. Anak laki-laki dari no. 3 terus ke bawah
6.  Saudara laki-laki dari ayah yang sekandung
7.  Saudara laki-laki dari ayah yang seayah
8.  Anak laki-laki dari no. 6
9.  Anak laki-laki dari no. 7
Bila kesembilan macam wali tersebut di atas tidak ada semua, maka yang menjadi wali dari mempelai wanita adalah penguasa atau hakim yang kemudian disebut dengan “Wali Hakim”.
e.   Muhrim/mahram adalah orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi, mereka adalah :
1.   Haram dinikahi karena sebab hubungan keturunan, yaitu :
a)     Ibu kandung, nenek (dari ayah/ ibu) dan terus ke atas
b)     Anak perempuan, cucu, cicit dan seterusnya ke bawah
c)     Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu saja)
d)     Saudara perempuan dari bapak
e)     Saudara perempuan dari ibu
f)      Anak perempuan dari saudara laki-laki dan terus ke bawah
g)     Anak perempuan dari saudara perempuan dan terus ke bawah.
2.   Haram dinikahi karena sebab hubungan susuan , yaitu :
a)     Ibu yang menyusui
b)     Saudara perempuan sesusuan
3.  Haram dinikahi karena sebab hubungan perkawinan, yaitu :
a)     Ibu dari istri (mertua)
b)     Istri anak (menantu), baik sudah dicerai apalagi belum
c)     Anak tiri (perempuan) , apabila sudah bercampur dengan ibunya
d)     Istri bapak (ibu tiri), baik sudah dicerai atau belum
e)     Saudara perempuan dari istri dan bibi dari istri (saudara perempuan dari ayah atau ibu istri), kecuali bila sudah bercerai dengan istri.
F.   KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Seorang istri diharuskan menunaikan kewajibannya yang merupakan hak suami demikian pula sebaliknya, sehingga dalam kehidupan suami istri akan terjalin hubungan timbal balik yang baik, dengan kata lain masing-masing harus berupaya untuk menunaikan kewajibannya secara optimal. Dalam Buku Kompilasi Hukum, telah diatur tentang kewajiban suami istri, yang pokok-pokoknya sebagai berikut :
a. Kewajiban suami
1.   Wajib memberikan nafkah, pakaian dan tempat kediaman serta biaya rumah tangga sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya.
2.   Memimpin, memberi perlindungan dan ketenteraman guna terwu­judnya keluarga sakinah, bahagia sejahtera
3.   Bergaul  dengan istri dan anak-anaknya dengan cara yang makr­uf, yaitu sesuai dengan kaidah akhlaqul karimah
4.   Memberikan pendidikan  dan bimbingan  kepada  anak dan istrin­ya untuk selalu bertaqwa dan meningkatkan taqwanya
5.   Memberikan nafkah  dan kediaman  kepada bekas istri selama masa iddah
6.   Kewajiban suami pada istri gugur, apabila istri nusyuz.
Dasar dari kewajiban di atas adalah ayat-ayat Al Qur’an  dan hadis, diantaranya :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. An Nisa’ : 34
Yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa kelebihan laki-laki dari wanita bukan berarti laki-laki lebih mulia dari wanita, akan tetapi karena kelebihan itulah yang menimbulkan kewajiban seperti tersebut di atas.
ياأيهَاالذينَ ءَامَـنـُوْا قوا أنفسَكمْ وَ أهْليـْكمْ نارًا.
Artinya : “Hai orang-orang  yang  beriman, peliharalah  dirimu  dan  keluargamu  dari api neraka”. QS. At Tahrim : 6
Sabda Rasulullah saw. :
اتقواالله فى النساء فانكم اخَذتمُوهن بأمانة الله واستحْللتمْ فروجهُـنَ بكلمات الله   رواه  مسلم
Artinya : “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesung­guhnya karena mengambil mereka dengan kepercayaan Allah dan halal mencampuri mereka dengan kalimat Allah dan diwajibkan atas kamu (para suami) memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik (sesuai kemampuan)”. HR. Muslim

b.   Kewajiban Istri
Kewajiban istri merupakan hak suami, begitu juga sebaliknya. Adapun kewajiban istri antara lain :
1.   Kewajiban  utama bagi istri adalah berbakti lahir bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama.
2.   Mengatur dan menyelenggarakan keperluanrumah tangga sehari-hari sebaik-baiknya bersama anggota keluarga yang lain.
3.   Menjaga dan  memelihara  kehormatan  diri,  keluarga, suami dan harta benda suami terutama bila suami tidak di rumah.
4.   Sesuai dengan kemampuannya, membantu tugas-tugas suami teruta­ma dalam menciptakan keluarga yang taqwallah.
Penjelasan
1.   Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami istri, sanga­tlah bijaksana bila memperha-tikan dan mempertimbangkan ayat berikut :
وَلَهُـنَّ مِـثْلُ الَّذِيْ عَلَـيْـهِنَّ بِالْمــَعْرُوْف
Artinya :  “Dan para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. QS. Al Baqarah : 228
2.   Suami istri harus selalu bekerja sama dalam mewujudkan tujuan perka­winan, terutama di dalam menciptakan kemesraan di atas sajadah sebagai wujud dari ketaqwaannya kepada Allah swt.



G.  TALAK (Perceraian)
a.   Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz  talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak.
Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi walaupun telah diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan rumah tangga tidak memungkinkan lagi terwujud ketenan­gan dan ketentraman, maka dalam kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengan cara yang baik. Atau juga apabila suami istri tidak dapat memenuhi kewajiban mas­ing-masing sesuai dengan ketentuan agama. Jadi talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.
b.   Hukum Talak.
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt, hal ini berdasar hadis Nabi saw :
ابـغضُ لحـلال عـنـد الله هـو لطلاق  رواه  ابو داود وابن ماجه
Artinya : “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah talak”. HR.Abu Daud dan Ibnu Majah.
Bila memperhati­kan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan dan kemudlara­tan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1.   Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk  talak.
2.   Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewaji­bannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3.   Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri.
c.   Lafadl dan Bilangan Talak.
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih (terang) atau kinayah (sindiran).
1.   Sharih (terang), yaitu  kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungka­pan yang jelas ini maka jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.



2.   Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak.
Terhadap seorang istri, suami berhak menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
1.   Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa iddahnya habis.
2.   Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain Sughro atau Kubro.
Talak Bain Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan hilangn­ya hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah, akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam massa iddah. Talak jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika (bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.
H.  IDDAH
a.   Pengertian Iddah
Iddah berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai biasa maupun cerai mati. Selama masa iddah bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya, disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah seba­gai anak dari suami yang menceraikannya.
b.   Manfaat adanya masa iddah
1.   Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan tersebut.
2.   Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepa­kat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.
c.   Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1.   Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2.   Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa id­dahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3.   Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4.   Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5.   Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan
d.   Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1.   Perempuan yang dalam  masa iddah Raj’i  atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan belanja dari mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an :

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ 
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri yang sudah ditalak) itu wanita-wanita yang sedang hamil maka berikan­lah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirklan anaknya. QS. At Thalaq : 6.
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda :
انـما النــفقةُ والسـُّكنى للمـرأة اذا كان لـزوجها علـيها الرَّجْـعَـة   رواه  احمد
Artinya : “Bahwa perempuan yang berhak mengambil nafkah dan tempat tinggal adalah apabila suaminya itu berhak rujuk kepadan­ya”. HR. Ahmad dan Nasa’i.
2.   Wanita yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
3. Istri yang dalam  masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak waris, walaupun  sedang hamil.
I.     RUJUK
a.   Pengertian Ruju’
Ruju’ artinya kembali, yaitu bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa iddahnya.  Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa iddah talaq raj’i (talak satu atau dua), dan tidak diperlukan akhad nikah baru karena akad lama sebenarnya belum seutuhnya terputus. Perhatikan firman Allah swt. berikut:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
Artinya : “.... dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa iddah), jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah ..”. QS. Al Baqarah : 228.
b.   Hukum Ruju’
Pada dasarnya hukum ruju’ adalah boleh (jaiz) kemudian berkembang seperti tersebut di bawah ini :
1.   Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang  beristri  lebih dari satu dan apabila talak itu dijatuhkan sebelum gilirannya disem­purnakan.
2.  Sunnah, yaitu apabila ruju’ itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
3.   Makruh, yaitu  apabila  dimungkinkan dengan meneruskan  percer­aian  lebih bermanfaat dibanding mereka ruju’ kembali.
4.   Haram, yaitu apabila dengan adanya ruju’ si istri semakin menderita.
c.   Rukun Ruju’
1.   Istri, keadaannya  disyaratkan : ba’da dukhul, tertentu istri yang akan dirujukinya, ditalak dengan talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
2.  Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat akal.
3.  Sighat atau lafadl atau ucapan ruju’ yaitu ada dua cara :
a).   Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
b). Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Sighat ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya ruju’ kepadamu jika bapakmu mau. Ruju’ dengan kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah.



d.   Beberapa ketentuan rujuk
1.  Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan bagi istri dan anak-
2.  Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.
3.  Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa iddahnya habis
J.   ILA’, LI’AN, DLIHAR DAN KHULU’
a.   Ila’
Ila’ adalah sumpah  seorang suami  dengan menyebut nama Allah swt. bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya lebih dari empat bulan, atau tanpa menyebutkan lamanya.
Apabila seorang suami mengila’ istrinya, maka bagi seorang suami ada dua pilihan :
1.   Suami supaya kembali (mencampuri) kepada istrinya sebelum lewat masa empat bulan dan wajib membayar kifarat (denda) sumpah.
2.   Apabila masa 4 bulan itu sudah terlewati, maka bagi suami wajib memilih antara kembali baik dengan istrinya dengan membayar kifarat sumpahnya, atau menceraikan istrinya. Dan jika suami tidak mau memilih salah satunya, maka hakim berhak menceraikan istrinya dengan paksa, dan perceraian akibat ila’ ini termasuk talak bain sughro (baik berdasar kemauan suami ataupun karena putusan hakim).Sebagian ulama’ berpendapat bahwa bila sampai 4 bulan suami tidak mau kembali (campur) maka dengan sendirinya bagi istri jatuh talak bain.
Perhatikan surat Al Baqarah ayat 226-227
b.   Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami  yang menuduh istrinya berzina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir, sedangkan istri menolak tuduhan terse­but.
1.   Contoh sumpah suami adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa sesungguhnya saya benar dengan tuduhan saya bahwa istri saya yang bernama . . . (sambil ditunjuk) telah berbuat “zina” dan bahwa anak yang sedang/ telah dikandung/ dilahirkannya bukan anak saya. Ucapan sumpah tersebut harus diulangi sampai 4 kali, kemudian dilanjutkan dengan perkataan kelima yaitu : Atas saya laknat Allah swt, apabila saya berdusta dalam tuduhan ini.
Apabila seorang suami telah mengucapkan kalimat li’an tersebut,maka berlakulah beberapa hukum di bawah ini :
a)     Suami bebas dari had hukuman menuduh zina (dicambuk 80 kali)
b)     Istri wajib dihukum dengan had zina yaitu dirajam)
c)     Suami istri bercerai selama-lamanya.
d)     Bila ada anak, anak itu bernasab hanya pada ibunya dan tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya (ayah yang meli’an ibunya).
Seorang istri yang terli’an dapat menolak tuduhan suaminya se­hingga ia terbebas dari hukuman had zina, penolakan tersebut berupa sumpah empat kali.
2.   Contoh sumpah penolakan istri adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa suamiku . . . yang menuduhkan berzina adalah dusta semata (diulang sampai 4 kali).
Kemudian dengan ucapan yang kelima : bahwa atasku la’nat Allah swt. jika suamiku berkata benar.
Dengan adanya sumpah penolakan istri ini maka konsekwensi hukumnya adalah :
a)   Gugur atas istri hukuman had zina
b)   Apabila ada anak, maka anak tersebut sah bernasab pada ayahnya.
Untuk pelaksanaan di Indonesia, dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 128 disebutkan bahwa : Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang pengadilan Agama.
Dasar-dasar tentang li’an ini diantaranya disebutkan dalam surat An Nur ayat 6 - 9.
c.   Dlihar
Dlihar, adalah perkataan  seorang suami yang menyerupakan is­trinya dengan punggung ibunya, seperti kata suami “Engkau bagiku nampak seperti punggung ibuku”
Dalam adat jahiliyah, mendlihar sama halnya dengan mentalak istri, cara ini dapat juga terjadi di zaman Islam, seperti yang menimpa pada Khaulah binti Tsa’labah yang didlihar suaminya Aus bin Tsamit. Kebiasaan ini kemudian diharamkan dalam syari’at Islam seperti yang disebutkan dalam surat Al Mujadilah ayat 1 - 4.
Bagi seorang suami yang terlanjur melakukannya dan kemudian tidak mentalak istrinya, maka wajib membayar kifarat dan haram mencampuri istrinya sebelum mengeluarkan kifaratnya.
d.   Khulu’
Khulu’ artinya talak tebus, yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan adanya pembayaran iwad (tebusan) dari istri kepada suami.
Perceraian semacam ini dibolehkkan apabila terdapat sebab atau illat yang dibenarkan oleh syari’at Islam, seperti yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 229 dan atau pasal 116, 133, 134 dan 135.Perceraian cara khulu’ ini termasuk talak ba’in sughro.
e.   Fasakh
Fasakh yaitu rusaknya hubungan pernikahan antara suami istri karena :
1.   Sebab yang merusak aqad nikah, misalnya :
a)     Setelah diadakan pernikahan secara sah kemudian diketahui bahwa istri tersebut merupakan muhrim dari suaminya.
b)     Salah seorang dari suami istri tersebut murtad (keluar dari ajaran Islam).
c)     Pasangan yang semula sama-sama musyrik, kemudian salah satu atau keduanya masuk Islam.
2.   Terdapat sebab-sebab yang menghalangi tujuan pernikahan, seperti :
a)     Adanya penipuan dalam pernikahan tersebut, semula suami menga­ku orang baik-baik kemudian diketahui ternyata seorang penjahat.
b)     Suami atau istri mengidap penyakit/ cacat yang dapat mengganggu hubungan suami dan istri.
c)     Suami dihukum/ dipenjara selama lima tahun atau lebih.
d)     Suami dinyatakan hilang.

f.    Hadanah
Hadanah adalah hak  untuk mengasuh, memelihara, mendidik, memimpin serta mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak kecil yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya).
Diantara tugas suami istri adalah berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, kemudian apabila terjadi perceraian antara keduanya maka siapakah yang berhak untuk mendidik anak-anaknya ? Untuk itu maka perhatikan terlebih dahulu beberapa hadits di bawah ini :
1.   Dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang perempuan berkata : Wahai Raasulullah : Sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang mengandungnya, dan air susuku yang menjadi minumannya, dan pang­kuanku tempat perlindungannya, sedangkan bapaknya telah mencerai­kanku dan hendak mengambil dia dariku, maka Rasulullah bersabda :
انت احق فـيه مالـم تـَنـْكحـى  رواه احمد و ابو داود  وصححه   الحاكم
Artinya : “Engkau lebih berhak dengannya (anak itu), selama kamu belum menikah (lagi). HR. Ahmad dan Abu Daud (disahkan oleh hakim)
2.   Dari Abu Hurairah, bahwa seorang perempuan telah berkata : Wahai Rasulullah : Bahwa (bekas) suami saya ingin mengambil anak saya, padahal ia (anak) berguna bagiku dan ia mengambil air untukku dari sumur Abi Inabah, lalu datang (bekas) suaminya; maka bersabda Rasulullah saw :

يا غلامُ هذا ابُوك وهذه امكَ فخـذْ بيد ايّـهـمَا شئتَ فأخذ بيد امـه فانـطلقَ بـه     رواه احمد و الاربـعـه  وصححه الترمـذى
Artinya : “Hai anak : ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki dari keduanya” lalu anak itu memegang tangan ibunya, lalu ajak dia pergi”. HR. Ahmad.
3.   Hadits Nabi saw, yang lain :
ان رسول لله صَلى الله عَلـيْه وَسَـلمَ خَـيَّـرَ  غُـلامًا مـا بـين  ابـيه وامــه   رواه  ابن ماجه  و الترمـذى
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah saw. menyuruh memilih kepada anak yang sudah sedikit mengerti untuk tinggal bersama ayah atau ibunya.”  HR. Ibnu Majah dan Tirmizi.
Berdasar tiga hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a)     Ibu lebih berhak mengasuh dan mendidik anaknya yang belum mumayyiz dan biaya tetap menjadi tanggungan ayahnya.
b)     Bila ibu telah menikah lagi,  maka hak mengasuh anak itu pindah kepada ayahnya.
c)     Bila anak sudah besar,  maka ia bebas memilih untuk tetap tinggal bersama ibunya atau ikut dengan ayahnya. Atau pengadilan dapat memutuskan untuk menyerahkan anak tersebut kepada yang lebih cakap untuk mendidik dan mengatur kemaslahatan anak terse­but.
d)     Bila yang akan  mengasuh bukan ayah atau ibunya, maka lebih didahulukan perempuan daripada laki-laki, bila keduanya memiliki derajat kekeluargaan yang sama jauhnya dengan anak, akan tetapi bila ada yang lebih dekat didahulukan yang lebih dekat.
Syarat-syarat menjadi pengasuh dan pendidik anak, adalah : Berakal sehat, dapat menjaga kehormatan dirinya dan anaknya, merdeka, terpercaya (tidak curang terhadap hak dan harta anak), taat beragama dan berakhlak baik serta muukim di daerah atau kampung anak yang diasuhnya.



K.   HIKMAH PERKAWINAN
Hidup menikah berarti hidup teratur dan terencana serta memiliki tujuan yang pasti, sebab pernikahan juga mengandung arti kesepa­katan untuk hidup bersama guna menempuh cita-cita hidup dalam aturan (hak dan kewajiban) yang telah digariskan oleh syari’at Islam. Oleh karena itu, apabila merujuk pada tujuan diadakannya pernikahan dalam syari’at Islam, maka hikmah perkawinan dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.   Menjauhkan diri dari perbuatan tercela (zina).
Islam mengajarkan agar setiap manusia mempertanggung jawabkan keberadaannya.
b.   Ketenteraman dan ketenangan hidup
Terpenuhinya kebutuhan biologis secara tenang dan aman akan semakin menyuburkan jalinan cinta kasih antara suami istri, sehingga keduanya akan memperoleh ketentraman dan ketenangangan hidup, minimal dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis antara keduanya.
c.    Terpelihara dari perbuatan tercela dan maksiat
Ketentraman dan ketenangan hidup yang telah diraih seperti terse­but di atas akan menumbuh suburkan kesadaran akan adanya tanggung jawab masing-masing untuk menjaga dan melestarikannya. Masing-masing akan berusaha untuk berbuat yang terbaik, sehingga kecil kemungkinannya untuk melirik orang lain yang bukan suami/ istrin­ya, dan menjurus pada perbuatan zina atau maksiat lainnya.
Untuk dapat menjaga keutuhan jalinan cinta kasih antara suami istri perhatikanlah ayat berikut :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :   “Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. QS. An Nisa’ : 19
Ayat di atas menegaskan bahwa di balik kejelekan atau kekurangan suami/ istri akan tersem-bunyi kebaikan yang banyak, oleh karena itu sebaiknya bersabarlah dan lihatlah dari mereka kebaikan dan kelebihannya.
d.   Melestarikan dan memelihara keturunan.
Dengan adanya perkawinan maka terjaminlah kelangsungan hidup manusia secara sah dan manusiawi, dalam arti secara hukum maupun pertalian nasab dan silsilah keturunannya dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Seorang anak yang dilahirkan memiliki status yang sah dengan ayah ibunya, bukan anak yang baru memiliki status dan bahkan baru mengetahui orang tuanya setelah menginjak dewasa.
Seperti halnya binatang, manusia memang dapat berkembang tanpa adanya ikatan perkawinan, akan tetapi manusia diciptakan oleh Allah swt dengan predikat termulia diantara sesama mahkluq, dengan akal dan budinya tentu memiliki cara dan sifat hidup yang jauh berbeda dengan binatang. Oleh karena itulah, sejak manusia pertama  yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa telah manjalani hidup dalam ikatan perkawinan yang sah, bahkan tidak satu pun Agama Samawi yang tidak mensyari’atkan pernikahan.
e.   Hidup Bahagia Dunia Akhirat.
Kondisi keluarga yang tenang dan tentram, terhindar dari perbua­tan-perbuatan tercela serta memiliki keturunan yang sah dan shalih, merupakan modal dasar untuk terciptanya kehidupan bahagia sejahtera di dunia dan di akhirat apabila diimbangi dengan adanya kesadaran beragama yang baik.
Bahagia di dunia berarti dapat menikmati hidup dan kehidupan dalam kondisi bagaimanapun dan tidak terpana atau bahkan meratapi kenyataan dan pahitnya kehidupan, sedangkan bahagia di akhirat berarti mendapatkan kenikmatan yang maha besar kelak di surga.

PERKAWINAN MENURUT UU NO. I TAHUN 1974
Perawinan menurut UU. No. I Tahun 1974.
Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis besar seba­gai berikut .
1.   Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri  dari 5 pasal.
2.   Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
3.   Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri dari 9 pasal.
4.   Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
5.   Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1 pasal.
6.   Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri, terdiri dari 5 pasal.
7.   Bab VII : Harta benda dalam perkawinan, terdiri dari 3 pasal.
8.   Bab VIII : Putusnya Perkawinan  serta Akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
9.   Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
10. Bab X : Hak dan Kewajiban  antara orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
11. Bab XI : Perwalian terdiri dari 5 pasal.
12. Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
13. Bab XIII : Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal.
14. Bab XIV : Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.
a.   Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.
UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa :
1.  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2.  Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
3.   Setiap perkawinan harus  dilangsungkan  dihadapan  dan dibawah  pengawasan  Pegawai  Pencatat Nikah.
4.   Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
b.   Sahnya Perkawinan.
UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menegasklan bahwa “Perkawi­nan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan :
1.  Pasal 4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam.
2.   Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
c.   Tujuan Perkawinan
1.   Membentuk  keluarga  (rumah tangga)  yang   bahagia  dan kekal  berdasarkan   Ketuuhanan  Yang Maha Esa. (UU. No. 1 Th. 1974)
2.   “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.
d.   Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan Talak
Menurut UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :
1.   Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.  Pasal 40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan.
Tata cara perceraian dan pengajuan gugatan cerai diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36.
Sedangkan peranan Pengadilan Agama menurut UU RI No. 7 Tahun 1989, pada dasarnya sama dengan pasal 39 UU No. I Tahun 1974.  Kemudian untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas, pelajarilah  pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989.
e.   Batasan-batasan Dalam Berpoligami
UU No. I Tahun 1974 pasal 3 menyebutkan bahwa :
1. Pada azasnya   dalam suatu  perkawinan    seorang  pria  hanya boleh   mempunyai   seorang   istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat  memberi izin  kepada  seorang  suami  untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 4 ditegaskan bahwa : Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permo­honan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuh kan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengaju­kan permohonan poligami kepada Pengadilan, seperti ditegaskan pada pasal 5 adalah : adanya persetujuan dari istri/ istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keper­luan hidup istri-istri dan anak-  anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku  adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.  
Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dalam kaitannya dengan masalah poligami ini, maka harus memenuhi beberapa ketentuan seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 45 Tahun 1990 pasal 4.

Comments

Popular posts from this blog