MATERI HALAL BI HALAL
PERTAMA
Sebuah kisah yang berdasarkan pada hadist Rasulullah
saw dari cerita Malaikat Jibril “sungguh dahulu pernah ada seorang hamba
(‘abid) yang tinggal seorang diri di sebuah gunung paling tinggi di dunia.
Begitu tingginya gunung itu, sehingga aku (jibril) sering melaluinya ketika
hendak turun dari langit melaksanakan titah dari Yang Maha Kuasa. Gunung itu
tidak begitu luas, tetapi cukup lengkap persediaan bahan makanan dan
buah-buahan juga air terjun yang menyegarkan. Hal itu mempermudah ‘abid menjaga
perut dari kekosongan dan memudahkannya berwudhu sehinga ia selalu dalam
keadaan suci.
Di atas gunung yang sangat indah itu, ‘abid hidup
selama lima ratus tahun. Ia tidak punya kegiatan, selain beribadah, bermunajat,
dan berdo’a, tidak pernah terlintas dibenaknya untuk berbuat dosa dan
mendurhkai-Nya. Salah satu do’a yang dikabulkan Allah swt adalah permohonannya
setiap saat untuk mati dalam keadaan sujud. Demikianlah, akhirnya ‘abid
meninggal dunia dalam usia limaratus tahun.
Setelah kematiannya Allah swt berkata kepadanya
‘wahai hambaku karena rahmat-Ku, kau akan segera aku masukkan ke dalam surga’.
Mendengar pernyataan tersebut si ‘abid berubah
mukanya, terkesan tidak terima. Karena ia merasa bahwa amal-ibadahnnya selama
lima ratus tahun tanpa dosa lah yang menyebabkannya layak masuk ke surga. Bukan
semata karena rahmat-Nya. Demikian protes ‘abid kepada Allah swt.
Mafhum apa yang dimaksud oleh si ’abid. Maka
segeralah Allah menugaskan seorang malaikat untuk menghitung dan menimbang
seluruh amal-ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa yang diandalkannya
sebagai modal meraih sorga. Kemudian ditimbangnya amal tersebut dibandingkan
dengan rahmat pemberian-Nya. Ternyata rahmat Allah swt yang diberikan kepada
‘abid yang terdapat dalam mata (termasuk di dalamnya kemampuan melihat) saja
jauh lebih berat nilainya dibandingkan dengan ibadahnya selama lima ratus
tahun. Belum nikmat anggota badan yang lain, otak, kaki, tangan, dan
seterusnya.
Maka sesuai dengan protes yang diajukannya,
Allahpun memerintahkan malaikat untuk menyeret si ‘abid ke dalam neraka. Karena
nilai amal-ibadahnya jauh lebih ringan dari pada rahmat yang terdapat pada
mata. Ketika itulah si ‘abid baru sadar ternyata kebergantungannya pada amal
tidak dapat menyelamatkannya. Segera ia meminta ampunan dan mengakui akan
segala kesalahan dan kesombongannya. Ia terlalu mengandalkan amal ibadahanya
dan mengabaikan rahmat-Nya.
Akhirnya Allah mengampuninya dan sekali lagi
menanyakan kepada si ‘abid “apakah engkau masuk surga ini karena amalmu?’ si
‘abid menjawab “tidak ya Allah Tuhanku, sungguh ini semua karena rahmat-Mu”.
KEDUA
Sebuah kisah masyhur dari kitab Nashaihul
Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani tentang al-Ghazali.
Diceritakan bahwa Imam Ghazali tampak dalam mimpi,
maka ia ditanya “apa yang Allah lakukan kepadamu?” lalu ia menjawab “Allah
membiarkanku di hadapan-Nya, kemudian Allah berkata, Kenapa Engkau dihadapkan
kepada-Ku, apa yang engkau bawa? Maka aku (al-Ghazali) menyebutkan segala
amal-ibadahku. Tapi Allah menjawab “sesungguhnya Aku tidak menerima semua
amal-ibadahmu, kecuali satu amal pada suatau hari ketika kamu membiarkan
sesekor lalat hinggap di atas tintamu dan meminum tinta itu dari ujung penamu,
serta engkau membiarkannya karena kasihan kepada lalat itu”. Kemudia Allah
berkata “wahai malaikat, bawalah hambaku ini ke surga”.
KETIGA
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a: Rasulullah s.a.w bersabda:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ لَمْ يَعْمَلْ حَسَنَةً قَطُّ
لِأَهْلِهِ إِذَا مَاتَ فَحَرِّقُوهُ
Seorang lelaki yang tidak pernah membuat kebaikan berkata kepada kepada
keluarganya bahawa apabila dia mati, bakarlah jenazahnya
ثُمَّ اذْرُوا نِصْفَهُ فِي الْبَـرِّ
وَنِصْفَهُ فِي الْبَحْرِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ
لَيُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا لَا يُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ فَلَمَّا
مَاتَ الرَّجُلُ فَعَلُوا مَا أَمَرَهُمْ فَأَمَرَ اللَّهُ الْبَرَّ فَجَمَعَ مَا
فِيهِ وَأَمَرَ الْبَحْرَ فَجَمَعَ مَا فِيهِ ثُمَّ قَالَ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا
قَالَ مِنْ خَشْيَتِكَ يَا رَبِّ وَأَنْتَ أَعْلَمُ فَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ
dan buang abunya. Sebahagian di darat dan sebahagian lagi ke laut. Demi
Allah! Sekiranya Allah ingin mengazabnya, pasti akan diazab dengan siksaan yang
tidak pernah dilakukan terhadap orang lain. Pada waktu lelaki tersebut mati,
dia diperlakukan sebagaimana permintaannya. Lalu Allah s.w.t memerintahkan abu
yang dibuang ke bumi dan ke laut supaya menjadi satu kembali, Kemudian Allah
s.w.t berfirman: Mengapa kamu lakukan semua ini. Dia menjawab: Kerana takut
kepadaMu Ya Allah dan Engkau lebih mengetahui segala-galanya. Lalu Allah
mengampuni lelaki tersebut
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
: عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَنْ
يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالَ رَجُلٌ وَلَا إِيَّاكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ وَلَا إِيَّايَ إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ
بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا *
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a: Dari Rasulullah s.a.w, baginda
bersabda:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
: عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَنْ
يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ
Amalan seseorang tidak akan dapat menyelamatkan diri masing-masing.
قَالَ رَجُلٌ وَلَا إِيَّاكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ وَلَا إِيَّايَ إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ
بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا
Seseorang bertanya: Walaupun engkau wahai Rasulullah? Baginda menjawab:
Ya! Walaupun aku tetapi Allah telah meliputi rahmatNya kepadaku. Tetapi kamu
berusahalah sungguh-sungguh!
Idul Fithri merupakan
Hari Besar dalam Islam, dan ketika kita merayakannya harus meliputi 3 unsur
yaitu perasaan GEMBIRA, SYUKUR DAN IBADAH.
Idul Fithri adalah letupan rasa gembira dan bangga
dengan motivasi syukur kepada Allah swt. karena kita telah selesai melaksana-kan
tugas berat jihad akbar atau perang besar yaitu puasa Romadhan satu bulan
penuh. Dimana rasa gembira dan bangga serta syukur ini diimplementasikan,
dilaksanakan dan diwu-judkan dalam bentuk IBADAH kepada Allah swt.
Rasa bangga dan gembira serta syukur wajib kita panjatkan
bukan karena kita telah dapat melaksanakan puasa 1 bulan penuh, akan tetapi
justru karena Allah swt. telah menganugerahkan kepada kita kekuatan, kemampuan
dan kesempatan untuk dapat melaksanakan puasa dengan sebail-baiknya.
Syeh Athaillah mengatakan : Jangan merasa gembira atas
perbuatan taat (bakti) karena engkau merasa telah dapat melaksanakannya, akan tetapi
bergembiralah atas perbuatan taat itu, karena ia sebagai karunia taufiq,
hidayat dari Allah swt. kepadamu.
Karena merasa mendapat karunia dan rahmat Allah swt,
mereka harus gembira. Itulah yang lebih baik daripada yang dapat mereka
kumpulkan.
Gembira dan syukur atas perbuatan taat itu jika karena
merasa mendapat kehormatan kurnia dan rahmat Allah sehingga dapat melakukan
taat maka itu yang terbaik dan benar. Sebaliknya jika gembira karena merasa
diri sudah kuat dan sanggup melaksanakan taat, maka hal ini menimbulkan ujub /
sombong dalam melaksanakan taat, maka hal ini akan merusak amal taat itu. Dan menyebabkan adanya perasaan aku
adalah, bangga diri dan ujub, merasa diri telah baik.
Comments
Post a Comment